Kriiiinggg!!!
Bel sudah berbunyi. Para siswa di
sekolah segera keluar dari sekolah itu. Gerbang sudah diisi dengan lautan
siswa. Kaiya yang berada di antara lautan itu segera keluar dari lautan itu.
Dia terpaksa jalan kaki karena ibu dan ayahnya yang sedang sibuk mengurusi
adiknya.
Kaiya bersama teman-temannya, yaitu
Kanaya, Meulin, Yurjana, Erina, dan Afriyan, adalah murid kelas IX-1 yang
bersekolah di suatu sekolah yang cukup terkenal. Mereka sudah saling kenal dan
berteman sejak kelas VII.
Sesampai di rumahnya, Kaiya teringat
ada tugas kelompok dan segera menghubungi mereka. Sambil menunggu mereka
datang, dia membuka laptopnya dan asyik melihat konten-konten favoritnya di
Internet. Tidak lupa juga dia menekan tombol like dan share ke mini blognya. Dia juga sedang
menyelesaikan tugas puisi yang akan dikumpulkan tiga hari ke depan.
“Permisi?” tanya para tamu. Kaiya
yang sedang asyik dengan ‘kegiatannya’ tidak tahu ada tamu yang datang.
“Permisi, ada Kaiya?” tanya para
tamu sekali lagi.
Akhirnya Kaiya sadar ada tamu yang
sedang menunggunya. Dengan segera, dia menuju ke ruang tamu untuk menemui tamu
itu. “Oh, Yurjana, Kanaya, Meulin, silakan masuk,” sambutnya.
Kemudian mereka masuk ke kamarnya, “Afriyan
dan Erina belum datang, ya?” tanya Meulin.
“Mungkin mereka lagi di jalan. Kita
tunggu saja,” kata Yurjana.
Tidak lama kemudian, Afriyan dan
Erina datang. Setelah berkumpul bersama-sama, mereka sibuk mencari materi IPA
tentang persilangan sifat antara makhluk hidup yang akan dipresentasikan pada
empat hari ke depan. Mereka mengerjakan itu dengan selingan candaan.
Setelah selesai menyunting, mereka
mulai membahas keluar dari materi sambil menikmati sirup melon susu yang dibuat
oleh Kaiya dan setoples biskuit sandwich
coklat. “Bagaimana kalau kita nonton drama Korea? Kebetulan pada jam ini
dramanya mulai tayang,” usul Yurjana yang sangat terobsebsi dengan hal-hal yang
berhubungan dengan Korea.
“Boleh juga, Yur! Tapi di channel TV
apa?” tanya Meulin.
“Di channel Kepop lah!” jawab
Yurjana. “Oh, ya, Kaiya, ada channel Kepop nggak
di TVmu?”
“Ada kok! Tenang saja!” jawab Kaiya
sambil memegang remotenya dan mencari
nomor channel TV yang akan ditonton mereka.
* * *
“Oppa!” panggil seorang gadis kepada
seorang lelaki sambil mengisakkan air mata. Suasana malam itu diisi dengan
derasnya hujan yang membuat baju gadis itu basah kuyup. Sementara lelaki yang
sedang berjalan perlahan dan memegang payung segera berhenti. Lalu, Dia menoleh
ke belakang melihat gadis tersebut.
“Masihkah engkau memaafkan aku?”
isak gadis tersebut. Suara musik background
mulai diputar.
“Uh... Aku maafkan padamu,” tegun
lelaki itu. Lelaki itu kemudian berjalan ke arah gadis itu dan memeluknya
dengan erat, “A... Aku... ingin ka... kamu memaafkanmu ju... juga.”
Gadis itu tidak bisa berkutik.
Mereka saling berpelukan dengan erat dan menangis di dalam pelukan itu.
DUAARR!!!
Suara nyaring terdengar di angkasa.
Mereka terkejut mendengar suara itu dan musik background tiba-tiba berhenti. Namun, suara apakah itu? Kenapa
suaranya lain?
Ternyata suara itu berasal dari
lembaran besi yang dibengkokkan dan dimainkan oleh seorang anak muda. “Uhh…
Maaf, aku iseng saja agar aku masuk TV. He… he… he...” katanya dengan senyum
polos.
Secara tidak langsung anak itu ajak
kelahi.
* * *
“Oh, iya! Aku baru ingat di sana tayangnya dua jam lebih
cepat dari sini! Ini behind the scenenya!”
ingat Yurjana sambil menepuk dahinya yang sebenarnya tidak ada nyamuk di sana.
“Apalah, Yur... Yur! Engkau tuh
memang, ya!” omel Erina.
Kaiya menuju ke meja tempat
laptopnya berada dan mengambil sesuatu dari tumpukan bukunya yang berisi coretan
puisi, matematika, dan hal tidak jelas lainnya.
“O, ya, aku punya buku ramalan
zodiak yang aku buat. Mau nggak?” sahut Kaiya sambil mengangkat buku tulisnya.
“Tidak, Kai, terima kasih,” tolah Afriyan
dengan sopan.
“Tapi ini isinya ramalan jodoh dan
kecocokkannya, loh!”
“Mm... Boleh lah. Saya hanya dengar
saja.”
“Oke. Siapa yang mau diramal
kecocokan jodohnya?”
Yurjana mengangkat tangannya. “Oke,
zodiak kamu apa?” tanya Kaiya.
“Zodiak aku Aquarius,” jawab
Yurjana.
“Zodiak orang yang kamu suka?”
“Pisces.”
“Hm... Kamu suka sama dia tapi dia
tidak peka, namun kamu menjadi sahabatnya selamanya.”
“Ouch...” sahut yang lain dengan
spontan.
“Oke yang lain?” tanya Kaiya.
“Saya, Kaiya!” tunjuk Meulin.
“Zodiakmu?”
“Leo.”
“Zodiak orang yang kamu suka?”
“Saggitarius.”
“Hm... Kalian akan menjadi sahabat
selamanya,” jawab Kaiya. “Oke, sudah ya, saya juga manusia. Sebenarnya ini
bukan ramalan. Tapi, ini hanya cocok-mencocokkan saja dan ditulis dengan sangat
ngawur. He... he... he...”
“Bah! Kirain seriusan!” sahut Afriyan.
Sudah tidak terasa sudah jam lima
sore. Kue dan minuman yang disajikan telah habis tak bersisa. Mereka pulang ke
rumahnya masing-masing. Kaiya yang menjadi tuan rumah sudah capai membereskan
kamarnya.
Pada malamnya, Kaiya membuka
laptopnya dan membuka grup obrolan kelompoknya.
* * *
Kukiis612 (Afriyan)
O ya bagaimana kalau malming kita ke sekolah? Kita
bongkar misteri di sekolah kita. Misteri dadakan di dekat kelas IX-8 tuh 19.14
KarpetLand (Yurjana)
Yang mananya? 19.14
Kukiis612 (Afriyan)
Itu yang pohon rambutan tuh 19.14
PohonKaktus (Kanaya)
Oh itu yang ceritanya ada sebuah benda yang ditinggal seorang
gadis yang hilang kan?
Kata mereka gadis itu murid VII-7 19.15
Kukiis612 (Afriyan)
Ya! Itu dia! 19.15
Pinusss413 (Erina)
Masalahnya guru membolehkan kita nggak? Kita takutnya
masuk BP 19.15
Kukiis612 (Afriyan)
Kita bilang saja dulu ke satpam. Ke pak Owo misalnya 19.16
HantuBelau (Kaiya)
Titip jejak. Pak Owo ngelaporin ke kita gak? Takutnya
beliau ngelapor ke ibu BP 19.16
Kukiis612 (Afriyan)
Tidaklah, beliau mana lapor ke ibu BP. Beliau bolehin kok.
Pernah aku coba sama temanku 19.17
KarpetLand (Yurjana)
Tapi takutnya orang tua tidak kasih izin ke kita 19.20
Kukiis612 (Afriyan)
Kalau begitu kumpul bersama aja di rumahku. Rumahku dekat
toko pak Sane 19.20
Pinusss413 (Erina)
Orang tua ko emangnya di mana? 19.20
Kukiis612 (Afriyan)
Orang tuaku lagi di luar kota sampai dua hari ke depan. Aku
suntuk di sini 19.21
PohonKaktus (Kanaya)
Oke kami tunggu. Jam berapa? 19.21
Kukiis612 (Afriyan)
Jam 7 malam. Kita ke sekolah naik mobilku 19.21
MandM15 (Meulin)
Oke tapi jangan ngebut ya. Btw selamat malam 19.21
KarpetLand (Yurjana)
Ya night all 19.21
Pinusss413 (Erina)
Belum ngantuk oi 19.22
HantuBelau (Kaiya)
Selamat mengerjakan PR PKN juga 19.22
PohonKaktus (Kanaya)
Jangan ingatin oi 19.22
Semua
pengguna telah offline.
* *
*
Setelah semua temannya
sudah offline atau mengalihkan ke
kegiatan lain, Kaiya melanjutkan melihat konten favoritnya lagi seperti yang
dia lakikan pada siang hari dan tidak lupa mengerjakan PR PKN yang diberikan
oleh Bu guru.
* *
*
Keesokkan harinya, setelah pulang
sekolah, Afriyan mengambil laptopnya dan membuka grup obrolannya. Sambil
menunggu temannya online, dia membuka situs video online dan memutar video K-pop kesukaannya.
Ting!
Afriyan mengalihkan ke tab lain.
Rupannya teman-temannya sudah online.
Dia mengumumkan tentang rencana mereka menyelidiki misteri di sekolah mereka.
* * *
Kukiis612
(Afriyan)
Hai semuannya! Bawa
senter, tas, makanan, minuman, dan handphone, ya! Jangan lupa sampaikan ke yang
lain! 12.33
HantuBelau
(Kaiya)
Oke! 12.33
PohonKaktus
(Kanaya)
Wokeh! 12.33
Semua pengguna telah offline.
* * *
Malam
harinya, Kanaya, Meulin, Kaiya, Yurjana, dan Erina telah berkumpul di rumah
Afriyan. Mereka berdiskusi tentang misteri di sekolah mereka.
“O, ya,
kenapa kita tidak cari benda yang membuatnya ‘hilang’?” usul Kaiya.
“Apa kita bisa kembali?”
tanya Meulin ragu.
“Kita
lihat saja.” kata Kaiya tetap pada pendiriannya.
Mereka
sepakat akan ke sekolah mencari benda ‘gerbang ke gaib’ itu. Mereka ke sana
naik mobil Afriyan. Setelah 15 menit, akhirnya mereka sampai di sekolah. Satpam
yang menjaga gerbang sekolah bertanya kepada mereka, “Dek, mau ngapain ke
sekolah? Sekolah udah tutup, lho.”
“Kami
mau menyelidiki kelas kami, pak!” jawab Afriyan berbohong.
“Oh,
kalau begitu, silakan saja. Tapi 30 menit aja, ya?” kata satpam mempersilakan.
“Terima
kasih, pak!” ucap mereka senang.
Kemudian
mereka berjalan ke tanjakkan tempat koridor sekolah berada, melewati lapangan, dan
sampailah mereka di depan kelas IX-8 di mana pohon rambutan tersebut tumbuh.
“Katanya
ada benda di dekat pohon itu. Tapi di mana, ya?” tanya Erina penasaran.
“Tenang,
aku punya alat pendeteksi, kok! Alat ini hanya bisa mendeteksi logam yang ada
di sekitar lingkungan.” jawab Kanaya sambil mengambil metal detectornya dari dalam tasnya dan mengarahkan pendeteksinya ke
pohon tersebut.
Tut!
Tut! Tut!
Alatnya
menemukan benda yang dimaksud mereka di dahan paling bawah dari pohon tersebut.
Mereka mengarahkan pandangan mereka ke dahan itu. Dahan yang letakknya di atas
kepala mereka cukup untuk mengambil benda yang mereka maksud.
“Yak,
dapat!” sahut Yurjana gembira.
Namun,
Yurjana teriak kesakitan, “Semut! Semut! AAA!!!” teriaknya sambil mengibaskan
pakaiannya secara mendadak seperti orang gila. Mereka yang lain ketawa
sementara dan menolong Yurjana yang sedang diserang semut merah.
Setelah mereka
membersihkan Yurjana dari semut merah, Erina mengomel, “Cepat! Jangan
buang-buang waktu! Kapan kita selidiki misterinya?”
“Hm...
coba aku pegang benda ini.” kata Kaiya sembari memegang benda yang memiliki dua
puluh sisi dan setiap sisi terdapat angka 15 dan terdapat sebuah tombol di
salah satu sisinya. Kaiya langsung menekan tombol tersebut. “WAA!!!” teriaknya
karena terhisap.
Kanaya
yang melihat Kaiya langsung memegang tangan Kaiya. “Jangan pergi! Kita belum
selidiki misterinya!”
“Tapi
ini permasalahan intinya! Kita harus cari gadis itu! WAA!!!” jawab Kaiya. Yang
lain juga membantu Kaiya keluar dari hisapan itu. Namun, semuanya telah
terhisap.
* *
*
Mereka
mendarat di daratan bunga dandelion yang sudah layu dan membuka mata setelah
beberapa menit pingsan akibat masuk ke hisapan itu. Suasana di sana agak horor
karena langitnya yang gelap. Mereka panik. “WAA!!! Kita di mana?” panik Kanaya.
“Ini pasti ulah Kaiya! Ini pasti dari ilmu kepastian!”
Tiba-tiba,
munculah makhluk mirip peri berukuran sedang, “Halo! Selamat datang di Capella Land! Silakan ke istana untuk
permasalahannya!” kata ‘peri’ itu kepada mereka. Mereka tercengang. ‘Peri’
mengerti raut muka mereka, “Oh, kalian ingin keluar dari dunia ini? Aku akan
membimbing kalian. Tenang saja!”
“Tentu. Tapi
kenapa suasana di sekitar jadi mengerikan?” tanya Afriyan.
“Akhir-akhir
ini negeri ini diserang oleh arwah jahat. Kami sudah berusaha mengusir mereka,
tapi kekuatan kami sia-sia. Mereka kuat sekali. Jadi, kami percayakan kepada
kalian untuk mengalahkan mereka. Tolong, ya?” jawab ‘peri’ memohon.
“Hm...
kami bisa membantumu, peri!” kata mereka berenam secara serentak. ‘Peri’ itu
senang mendengarnya, “Oke, aku temani kalian ke istana.” ajak ‘peri’.
Mereka
berjalan ke istana melalui hutan, sungai yang sudah mengering, bangunan yang
sudah runtuh, dan padang bunga. Sesampainya di istana, mereka diberi kehormatan
oleh penjaga istana. ‘Peri’ memanggil pemilik istana dan pemilik istana segera
muncul, “He... tamu yang tersesat di dunia ini lagi? Tidak bosan-bosannya aku menyambut
kalian, ups!” kata pemilik istana berkancing bulan sabit tersebut sambil
menutup mulutnya karena keceplosan. “Maaf, aku keceplosan. He... he... he...
Namaku Kamariah Najmeena.”
“Hai, Kamariah! Kami ingin mencari
seseorang!” kata mereka berenam serentak.
“Maksud kalian yang gadis umur lima
belas tahun itu? Sumpeh lo?” tanya
Kamariah.
“Ya! Itu yang kami maksud!”
“Wokeh!
Sebelum kalian menemukan gadis yang kalian maksud, bisakah kalian mengalahkan
arwah jahat itu? Kami sudah capek
ngusirnya. Mereka kuat super!”
“Tentu! Kami akan membantu kalian!”
“Yang benar? Waa! Makasih! Aku akan menambahkan kekuatan
kalian untuk melawan mereka,” kata Kamariah sambil mengucapkan matra. Setelah
selesai membaca matra, tubuh mereka bersinar warna-warni, “Matra ini adalah
matra pertahanan yang efeknya mengurangi rasa sakit kalian ketika menyerang
mereka dan hanya berlaku sampai kalian keluar dari sini. O, ya, aku kasih permata
dan peta ini kepada kalian. Permata itu untuk memanggil saya jika ada
keperluan. Maaf, hanya ini saja yang kami dapat bantu. Selamat berpetualang! Muah!”
* * *
Setelah keluar dari istana, mereka
memisahkan diri menjadi dua tim untuk mencari gadis yang hilang. Kaiya, Kanaya,
dan Meulin ke jalur kanan, dan Erina, Afriyan, dan Yurjana ke jalur kiri.
Jalur kanan tersebut adalah hutan
merah yang sangat gelap ketika semakin dalam memasuki hutan itu. Untungnya, Kaiya,
Kanaya, dan Meulin membawa senter. Saat mereka menyalakan senter dan
mengarahkan ke depan. Mereka kaget melihat bangkai binatang yang sudah menjadi
tulang akibat jebakan di pohon dekat bangkai tersebut dan diperkirakan
dagingnya sudah dimakan. Mereka melihat sekeliling. Semua sudah menjadi tulang.
Mereka ketakutan. Ketika mereka ketakutan, ada suara yang cukup keras dan
memanggil mereka, “Kaiya... Kanaya... Meulin...”
Mereka langsung melihat ke arah
suara tersebut datang. Hilang. Meulin segera berteriak, “Tunjukkan wujud
nyatamu!” Kemudian, sosok itu menunjukkan diri yang sebenarnya, belalang
raksasa. Mereka siap untuk melawan sosok itu. Kaiya melemparkan tulang yang
dekat dengannya kepada sosok itu. Sosok itu menjerit sambil berlari keluar dari hutan, “Tidak, tulang! Tulang!
Ahh!”
Mereka terheran-heran melihat sosok
tersebut. “Dasar belalang cupu!
Taunya nakuti orang terus!” maki
Kaiya. Kanaya dan Meulin berusaha menenangkannya. Mereka melanjutkan perjalanan
ke hutan pohon kristal, tempat berkumpulnya tim yang berpisah.
Sementara itu, jalur kiri adalah padang
rumput yang sudah mengering. Erina, Afriyan, dan Yurjana berjalan perlahan
karena rumput di sekitar mereka cukup tinggi. Mereka tidak boleh menginjak kayu
yang mereka langkahi.
Krek!
Yurjana tidak sengaja menginjak kayu.
“Ups,” ucapnya. Tiba-tiba, hantu yang menyamar wujud sebagai teman mereka dari
jalur kanan muncul di pandangan mereka. Hantu itu saling membunuh satu sama
lainnya. Mereka berteriak, “Kanaya, Kaiya, Meulin, jangan!” Namun, akhirnya teman
samaran itu terbunuh. Yang melihatnya langsung khawatir dan hampir menangis.
“Ha... ha... ha! Ternyata kalian mudah
ditipu dengan kekuatan menyamarku!” kata hantu itu dengan lantang. Mereka baru
menyadari itu hanyalah samaran dan siap menyerang hantu itu. Mereka mengetahui
kelemahan hantu itu. Mereka mengambil senter dan menyinari senter ke arah hantu
itu. “Aaa! Silau! Mataku!” teriak hantu itu sambil menghilang seperti debu yang
diterbangkan. Mereka melanjutkan perjanan mereka kembali.
Sesampainya di hutan pohon kristal,
mereka berjumpa kembali dengan tim mereka yang berpisah, “Apakah kalian
baik-baik saja?” tanya Erina khawatir.
“Tenang saja, kami baik-baik saja,
kok!” jawab Kanaya, Kaiya, dan Meulin. Kemudian mereka berdiskusi sambil bercanda,
“O, ya, kata Kamariah, musuh terbesar yang kita lawan berada di sana, ya?”
tanya Kaiya menunjuk puncak gunung yang penuh dengan bunga edelweis.
“Iya, aku melihat aura gelap di
sana.” jawab Yurjana.
“Aku perkirakan dari sini ke sana
membutuhkan waktu sekitar tujuh setengah hari.” kata Meulin.
“O, ya, kalian bawa tenda, gak?”
tanya Afriyan.
“Tentu, saya bawa!” jawab Kanaya
sambil mengambil bungkusan tenda yang dibawanya. “Sayangnya, aku bawa satu
saja.”
“O, ya, aku bawa juga!” kata Erina mengambil
tenda dari tasnya. “Gelar tenda di mana?”
“Sebaiknya di sini saja!” kata
Meulin ”Sekalian camping di sini.
Kita harus baik-baikan sama alam.”
“Tunggu, kok aku dengarnya bebekan?”
kata Afriyan sambil cekikikan. Mereka pun tertawa.
“Aku bilang baik-baikan, lah! Ayo,
cari kayu di sekitar sini!” ajak Meulin.
Akhirnya, mereka mencari kayu di
sekitar lokasi itu. Mereka berusaha mencari tahu kelemahan musuh di puncak gunung
dengan bantuan Kamariah melalui permata yang ia berikan. Mereka menjalani pertualang
mereka dengan senang hati. Setelah bermalam di padang itu, mereka mulai mendaki
dan juga mendirikan perkemahan di sana.
* * *
Tujuh hari berlalu dan akhirnya mereka
sampai di puncak gunung. Mereka menghadap musuh besar itu bersama Kamariah. Di
samping monster itu terdapat sebuah toples yang disegel dengan matra dan berisi
seorang gadis yang mereka cari. “Ha... ha... ha... Aku sengaja menyegel gadis
ini karena gagal mengalahkanku! Ha! Gadis cerewet macam apa ini!” kata monster
itu dengan angkuhnya.
“Hei! Kau jangan ngomong begitu! Jaga mulutmu itu!” marah
gadis dalam toples itu.
“Iya! Sebaiknya jangan buat rusuh
negeri kami!” marah Kamariah juga.
“Apa masalahnya? Toh, negeri kalian
itu lemah sekali! Hei kalian! Kalian pasti ke sini cuma menyelamatkan gadis ini,
kan?” kata monster itu meremehkan mereka.
Mereka mulai marah dan menyerang monster
itu secara brutal. Namun, monster itu kebal terhadap serangan mereka. Kemudian
monster itu menyerang mereka dengan matra. Mereka kesakitan dan terluka.
Sambil menyerang monster tersebut, Kaiya
heran kanapa monster itu tidak mendekatkan dirinya dengan teman-temannya. Dia
nekat mendekati dan mencoba menyentuh monster itu. Monster itu heran kenapa dia
nekat mendekatinya. Kaiya menyentuh monster itu. Tiba-tiba, monster itu
menggigil kedinginan dan mulai menjauhi mereka, “Uaa! Kulit manusia! Aaa!”
Monster itu berlari mabuk dan jatuhlah monster itu ke dalam jurang. Pengikutnya pun mengikuti monster itu.
Mereka terheran-heran.
Tiba-tiba,
suasana menjadi tenang. Langit menjadi biru, bunga bermekaran bahagia, hutan
merah menjadi hutan coklat, dan sungai terisi dengan air kembali. Mereka turun
dari gunung dan mencium harumnya bunga melati di sekitar pegunungan.
Kamariah melepaskan matra segel
toples itu. Gadis itu keluar dengan senang. Gadis itu kagum dengan mereka,
“Waa! Aku salut dengan kalian! Aku tidak kepikiran dengan kelemahan monster
itu. He... he... he... Kalian ingin mendengar ceritaku?” tawar gadis itu.
“Tentu! Kita senang mendengar cerita
kamu!” kata mereka dengan senang hati.
“Sebenarnya, saya murid VII-7 yang terperangkap
dalam negeri ini selama dua tahun. Kalian tahu kan benda yang kalian temukan di
pohon rambutan itu? Aku menemukan benda itu dari sebuah lubang dekat lemari kelasku.
Aku coba deh dekat pohon rambutan itu karena kebetulan lagi musimnya. Aku panen
buah itu untuk persiapan kalau terjadi apa-apa. Aku pencet tombol pada benda
itu dan aku di sini.” cerita gadis itu panjang lebar.
“O, ya! Kalian yakin mau keluar dari
sini? Tolong ingat kami, ya?” tawar Kamariah. Mereka mengangguk, “Oke, selamat
tinggal! Dadah!”
* * *
Sesampainya di dunia nyata, mereka
bengong melihat satpam yang sedang memandang mereka, “Kalian ngapain di sini?
Dan ngapain ada gadis yang hilang dua belas hari yang lalu itu?” marah satpam.
“O, ya, pak. Sekarang tanggal
berapa?” tanya mereka linglung.
“Sekarang masih malam Minggu, jam sepuluh!
Bapak dengar jeritan kalian dan ke sana, bapak nunggu, eh, tibanya kalian di
sini rupanya! Cepat, pulang ke rumah sana!”
Mereka tidak menyadari bahwa tujuh
setengah hari di sana sama dengan tiga jam di dunia nyata. Tanpa berkata-kata,
mereka kabur bersama gadis yang mereka temukan dan benda itu dan siap-siap
dimarahi orang tua mereka karena pulang agak larut malam.
Halo! Saya kembali dengan agak lemas karena sebentar lagi UAS ditambah dengan tugas yang ada (buh) (Saat cerpen ini dipublikasikan). Sebenarnya, ini cerpen yang saya buat untuk tugas Bahasa Indonesia. Saat saya menulis cerpen ini, saya terkadang tersedat ide apa jalan cerita selanjutnya. Ya, itu mungkin faktor penghambat menulis sesuatu.
Oh, mau "buku" yang Kaiya tulis? Jangan sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar
Jika anda puas, anda dapat mengomentari postingan ini bila perlu. Jangan nge-spam maupun promosi di blog ini.