Seorang pria tua berjalan ke sebuah kedai tua. Kedai itu tampak lusuh, bersekat bambu, pintu terlihat rapuh dan tipis, dan berventilasi tipis namun lebar. Aroma kopi tersebak merata dalam kedai itu. Tidak banyak pengunjung yang ada, bahkan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Pria itu duduk di sebuah meja paling ujung dalam kedai itu dan menyalakan rokok kereteknya. Seorang pelayan wanita muda berjalan ke meja pria itu dan menanyakan minuman yang dipesan si pria.
“Permisi, Bapak mau pesan apa?” tanya si pelayan menunggu pesanan si pria untuk dicatat.
“Kopi yang hitam dan beraroma harum tapi pahit,” jawabnya.
“Baik, Pak. Tunggu sebentar, ya.” Kemudian, pelayan itu pergi dan mengantarkan pesanan kepada "penghuni" dapur.
Pria itu kemudian memandang keluar sambil menghirup rokoknya. Bulan bersinar cerah dan berbulat penuh. Bintang-bintang berkelip redup karena polusi cahaya di kota. Ia membuka dompetnya dan memandangi foto keluarganya. Foto ayah, ibu, saudara, istri, dan anak laki-lakinya ia pandangi dengan lusuh.
Tak lama kemudian, tercium aroma kopi yang diinginkannya. Si pelayan menghampiri pria itu dengan membawa segelas kopi hitam beralaskan nampan. “Silakan nikmati kopi Bapak.” Si pelayan menaruh kopi di samping pria itu.
“Terima kasih.” Balas si pria tersenyum kepada si pelayan. Ia mengambil gelas itu dan menghirup dalam aroma kopi itu. Hitam dan harum, sesuai dengan pesanannya. Kemudian, ia meneguk kopi itu dan merasa puas dengan pahitnya kopi yang ia pesan.
Tegukan pertama, dia terpikir dengan masa mudanya selama kuliah. Pada masa kuliahnya, ia mengambil jurusan yang berkaitan dengan hukum, meskipun bidang yang ia sukai bukanlah hukum. Bapaknyalah yang menyarankannya untuk mengambil jurusan tersebut. Awalnya, ia enggan kuliah dengan jurusan itu karena merasa terpaksa. Namun, kawan-kawannya yang menurutnya asyik membuat dirinya merasa nyaman dengan lingkungan kampus. Walaupun demikian, ketika beberapa semester berlalu, kawan-kawannya mulai fokus dengan masa depan masing-masing. Ia sendiri mulai memikirkan lowongan pekerjaan yang mudah diterima karena merasa kurang dengan keterampilannya.
Tegukan kedua, dia terpikir bagaimana ia bisa bertemu dengan istrinya dan pekerjaannya. Suatu hari, ia diajak kawannya ke kos untuk diskusi tugas sekalian bermain dengan penghuni kos lain. Sesampainya di kos kawannya, ia bertemu dengan si wanita yang sedang mencari kucingnya. Kebetulan kucing yang ia cari berada di dalam kos kawannya. Si pria bergegas mengambil kucing yang sendang membersihkan badannya dan menyerahkan kucing itu kepada si wanita. Si wanita berterima kasih dengan senyuman yang terlihat manis bagi si pria. Beberapa hari kemudian, mereka sering bertemu dan seiring berjalannya waktu, akhirnya mereka menjalin hubungan. Sampai pada akhirnya setelah kelulusan si pria, si wanita mengajaknya bertemu dengan keluarga si wanita. Si pria dengan gugup menerima ajakannya dan bertemu dengan calon mertuanya. Si calon mertua senang melihat si pria dan mengajaknya mengobrol. Setelah mendengarkan curahan hati si pria, si calon mertua menawarkan pekerjaan kepadanya dan kebetulan perusahaannya membutuhkan seorang karyawan. Setelah menanyakan kriteria pekerjaan tersebut, pekerjaan itu ternyata cocok dengan keterampilannya. Si pria dengan senang hati menerima tawaran dari calon mertuanya. Setelah beberapa tahun, akhirnya si pria dan si wanita menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Hingga pada akhirnya, si wanita meninggal karena penyakit kronis yang merenggutnya, meninggalkan si pria dan anaknya yang berusia praremaja.
Tegukan ketiga, dia terkenang tentang anaknya yang bersikeras untuk hidup sendiri. Ketika ia melihat anaknya, ia merasa seperti melihat dirinya dari masa remaja—suka membangkang dan menginginkan kebebasan. Ia teringat pernah bersikeras kepada ayahnya karena ingin kuliah dan kerja di luar kota sebagai manajer perusahaan. Sedangkan, ayahnya bersikeras kepada anaknya untuk tetap di dalam kota saja dan menyarankannya bekerja sebagai pengacara—impian ayahnya yang tak tersampaikan. Setelah argumen yang panjang, dengan menyerah si pria mengikuti kemauan bapaknya. Sekarang, hal yang berbeda dengan masanya adalah ia lelah ikut campur dengan urusan anaknya. Ia memperbolehkan anaknya untuk hidup merantau dan sendiri dengan syarat selalu menghubunginya ketika ada waktu luang. Wajah anak langsung cerah dan senang dengan keputusan bapaknya. Setelah anaknya merantau, ia sering menghubungi si pria. Namun lambat laun, anaknya mulai jarang menghubunginya. Kini, sudah beberapa tahun anaknya tidak menghubunginya.
Tegukan terakhir, dia teringat bahwa dia hidup sendirian. Ya, hidup sendirian dan jauh dari anak dan istri. Ia membayangkan kondisi anaknya yang tidak lagi menghubunginya. Apakah ia sudah punya pekerjaan? Atau punya banyak rekan kerja? Atau pacar? Ataukah sudah berumah tangga? Entahlah, yang jelas ia benar-benar tidak tahu.
Bagaimanapun, hidup sendirian itu tidaklah semenyenangkan yang dipikirkan orang, pikirnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Jika anda puas, anda dapat mengomentari postingan ini bila perlu. Jangan nge-spam maupun promosi di blog ini.